Gagasan Reformasi UU Penyiaran
Setidaknya ada beberapa gagasan yang melandasi desakan untuk revisi total UU No. 24/1997.
- Dalam UU tersebut posisi pemerintah dan pemodal sangat dominan ketimbang posisi publik sehingga dalam prakteknya sistem penyiaran sangat otoriter.
- Bubarnya Departemen Penerangan selaku lembaga regulator penyiaran versi UU No. 24/1997. Perubahan kelembagaan tatanegara ini menyebabkan kehidupan media penyiaran di Indonesia tidak memiliki kepastian hukum (lawless)
- Terjadinya pergeseran konfigurasi kekuatan ekonomi dan politik pasca Orde Baru. Pergeseran itu memiliki 3 karakter, yaitu: Anti produk apapun peninggalan rezim Or-Ba, Munculnya gerakan demokratisasi media penyiaran, dan Ambisi kekuatan pemodal dalam dan luar negeri menerapkan sistem ekonomi pasar.
Beberapa pasal yang dinilai KPI otoriter dalam UU No. 24/1997, antara lain pasal 7 yang menyatakan penyiaran dikuasai negara, pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah dan di dampingi sebuah lembaga yang diberi nama BP3N (Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional). Secara de facto, UU No. 24/1997 pasca Orde Baru oleh komunitas penyiaran dianggap “tidak ada”. Kondisi penyiaran yang tanpa hukum ini memicu kekacauan pada 3 aspek.
- Sistem dan pemilikan lembaga penyiaran
- Keberadaan regulator
- Kekacauan isi siaran
Pentingnya merevisi UU No. 24/1997 didasarkan pada 4 hal:
- UU tersebut dianggap otoriter karena menempatkan pemerintah sebagai regulator yang sangat berkuasa.
- Bertentangan dengan TAP MPR no. XVII/MPR/1998 tentang HAM, khusunya ketentuan dalam BAB VI tentang hak atas kebebasan informasi.
- Terdapat banyak pembatasan: pasal 29, pasal 31 dan 27 pasal yang diattur lagi dengan PP yang belum jelas.
- Peraturan yang membagi 2 bentuk lembaga penyiaran yaitu lembaga penyiaran pemerintah dan swasta sudah tidak sesuai dengan kehidupan bernegara.
Bagaimana sejarah kelahiran UU no.24/1997 yang kemudian bernasib “layu sebelum berkembang”??? Pembahasan RUU Penyiaran yang kemudian menjadi UU no.24/1997 sama kontroversialnya dengan pembahasan RUU penyiaran yang kemudian menjadi UU no. 32/2002. RUU ini mengandung banyak aspek yang tidak relevan dengan prospek penyiaran dan sarat keinginan intervensi dari pemerintah. RUU ini menghalangi penyelesaian ketimpangan distribusi informasi, akses beragam sumber berita dan peran ideal lembaga legislatif.
Dalam rumusan tujuannya, pembuatan UU penyiaran tahun 1996 dimaksudkan antara lain untuk memberi kontribusi perkembangan penyiaran secara umum, untuk bisa dimiliki dan diawasi oleh rakyat Indonesia, membina bakat lokal dan program berskala internasional dan memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Sebuah tujuan yang cukup mulia, namun tidak sinkron dengan muatan materinya.
Ada 9 masalah krusial dan berikut ini dipaparkan secara lengkap untuk mengetahui sikap pemerintah “download disini”
Peace, Love and Empathy
RUU ini kak sedang dikaji ulang juga lho di DPR stelah selesai yg BIN berikutnya itu yg penyiaran 🙂
tp apa mungkin jika keabsahan RUU ini menuju titik terang jika direvisi ulang oleh pemerintah selaku regulator atau mungkin sebaliknya??? kita berdoa saja sebagai broadcaster muda agar tidak terjadi ketimpangan hukum.. 😉